Stadium General: Arah Baru Pembaruan Islam
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kembali menyelenggarakan kegiatan Studium Generale dengan tema “Arah Baru Pembaruan Islam”. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Selasa, 5 Oktober 2021 melalui Zoom Cloud Meetings yang dihadiri oleh kalangan mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum. Diawali dengan sambutan oleh Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, H. Ahmad Muttaqin, S.Ag., M.Ag., M.A., Ph.D., kemudian diambil alih oleh Najib Kailani, S.Fil.I., M.A., Ph.D. selaku Sekretaris Program Magister dan salah satu Dosen di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bertugas sebagai moderator. Adapun pembicara pada acara Stadium General kali ini adalah Sukidi Mulyadi M.A., Ph.D., yakni peraih gelar Master dan Doktor dalam Studi Islam dan Agama-agama di The Graduate School of Arts and Sciences, Harvard University, Cambridge, Amerika Serikat. Beliau menempuh program doktoral di bawah dua departemen yaitu Committee of the Study of Religion dan Near Eastern Languages and Civilization (NELC). Beliau juga mempertahankan disertasi yang berjudul “The Gradual Qur’an: Views of Early Muslim Commentators.”
Pada acara Stadium General kali ini, Sukidi Mulyadi M.A., Ph.D. mengawali dengan pemaparan mengenai definisi dari arah pembaruan islam melalui pengaruh dalam membaca Tradisi Islam. Slogan pembaruan islam bisa dimulai dari tradisi itu sendiri. Beliau menegaskan bahwa tidak melihat urgensi sebagai metode pembaharuan Islam, yakni dengan cara bersikap humble dan kembali pada tradisi. Sukidi Mulyadi M.A., Ph.D. ketika menafsirkan suatu makna dalam Al-Qur’an memilih untuk tidak langsung kembali pada Al-Qur'an kembali pada tradisi, karena Al-Qur’an tidak mendapat konteks kewahyuan itu sendiri atau berdasarkan inspirasi.
Meskipun Al-Qur’an diwahyukan dengan bahasa yang jelas dan clear, tetapi ketika semakin mendalaminya membawa kemusykilan. Maka dalam konteks ini ditegaskan oleh Sukidi Mulyadi M.A., Ph.D bahwa pembaruan “By reading the Qur'an true of tradition”. Ada kebalikan dari slogan pembaharuan, tidak ada makna dari teks-teks Qur'an karena adanya perbedaan penafsiran dari generasi tua dan sekarang. Pembaharuan dinamakan sebenarnya fokus pada makna itu sendiri. Sukidi Mulyadi M.A., Ph.D tidak berani langsung mengambil makna, tetapi beliau perlu melakukan dengan cara membaca komunitas penafsir itu sendiri.
How do we know, what happen in the past? Sukidi Mulyadi M.A., Ph.D menghargai satu ikhtiar yang dilakukan oleh komunitas pada periode awal islam karena mereka yang memproduksi maknanya. Kaum pembaharu tua memiliki keyakinan bahwa di dalam Qur'an ada makna yang dikehendaki oleh Wahyu Al Qur'an karena tidak ada proses Meaning yang diberikan. Sedangkan di generasi saat ini ada proses meaning making yakni ikhtiar itu sendiri. Sehingga makna yang didapatkan dalam Al-Qur’an merupakan produk manusia.
Sukidi Mulyadi M.A., Ph.D. menjelaskan juga ketika dalam sebuah penafsiran hanya terpaku pada satu makna saja, maka maknanya hanya terbatas pada satu hal tersebut. Namun ketika menambahkan makna kedua, yang tentu saja merujuk pada tafsiran Muqatil bin Sulaiman, maka akan terdapat pemaknaan yang lebih luas. Adapun Muqatil bin Sulaiman adalah satu-satunya penafsir pada masa 200 tahun pertama tahun Islam, yang pada saat itu tidak ada penafsir lain selain beliau. Namun sayangnya, tafsiran dari Muqatil bin Sulaiman justru tidak banyak menjadi rujukan karena terdapat kesalahpahaman terhadap penafsir lainnya.
Salah satu contoh tafsiran makna yang diproduksi oleh Muqatil bin Sulaiman adalah mengenai wahyu yang tidaklah bermakna tunggal dan sama, stabil dan tetap, tetapi justru variatif dan kontradiktif. Disebut variatif karena ia dapat ditafsirkan dengan spektrum makna yang luas, beragam, dan plural. Keberagaman dan pluralisme makna ini justru menjadi bagian inheren dari lautan makna dalam khazanah intelektual Islam yang berhasil dieksplorasi oleh penafsir wahyu seperti Muqatil bin Sulaiman.
Kemudian Sukidi Mulyadi M.A., Ph.D memberikan kesimpulan akhir bahwa tidak akan didapatkan makna yang tunggal dalam penafsiran Al Qur’an. Justru yang akan didapatkan makna yang plural, makna yang beragam. Penafsir dalam Islam itu tidak pernah tunggal, terus bertambah, dan seringkali penafsiran memproduksi makna baru, terkadang kontradiktif. Penafsir satu dengan lainnya merasa rendah hati dan saling menghargai tafsiran makna satu sama lain. Semua itu bagian dari hasanah tradisi penafsiran Islam.
Hingga penghujung acara, Stadium General ini berlangsung cukup kondusif dan diakhiri dengan tanya jawab antara peserta dengan narasumber. (AS & FR)